Kisah Sebungkus Nasi

8:09 PM Ichsan Sofan Nurzani 0 Comments

picture taken from http://kimchiconqueso.com/2011/04/30/nasi-bungkus/
Hasan dekil termenung duduk di pelataran pos satpam kampusnya. Tampak lusuh dengan t-shirt hitam yang sudah belel dan berubah warna. Perutnya cekung, matanya kosong rambutnya acak-acakan. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sana dengan sebuah buku tata bahasa Jerman di pangkuannya. Di sampingnya berdiri sebuah gelas plastik berisi kopi hitam yang isinya tinggal setengah.

Wie geht es dir, San?” sapa Pak Sudarmo dengan bahasa Jerman seadanya, sambil kemudian menghampiri Hasan untuk duduk di sampingnya.


Danke, gut, Pak...” sahut Hasan sembari tersenyum, tulus kelihatannya.

Pak Sudarmo adalah satpam senior di kampus Hasan, dia selalu terlihat peduli dengan Hasan yang sudah satu tahun ini tinggal di kampus. Hasan menempati salah satu ruang Unit Kegiatan Mahasiswa di sana. Bukan tanpa alasan, sejak kematian ayahnya, Hasan harus mengirit biaya hidup di kota yang jauh dari kampung halamannya ini. Ibunya hanya seorang pembuat kerupuk yang penghasilannya tidak menentu. Hasan mendapat jatah dua ratus ribu rupiah setiap bulannya. Jumlah uang yang memaksa Hasan meninggalkan tempat kosnya dulu dan menempati ruang kecil berdebu di kampusnya itu.

“Sudah makan, San?”

“Emh, sudah, pak, sudah...”

“Kapan?”

Hasan salah tingkah. Dia tidak mau meneruskan kebohongannya terhadap Pak Sudarmo. Dia sebenarnya tidak bermaksud berbohong, dia hanya tidak ingin Pak Sudarmo kembali membelikan dia makanan untuk mengisi perutnya yang sejak kemarin belum disinggahi sesuap makanan pun. Hasan merasa tidak enak, karena Pak Sudarmo sudah terlalu baik kepadanya.

Pak Sudarmo tersenyum, mungkin mengetahui kebohongan Hasan. “Bapak belum makan, San. Boleh bapak minta tolong belikan nasi padang?”

“Oh, boleh pak..., Warung nasi yang di ujung jalan itu kan?”

“Ya, beli saja dua bungkus..., bilang  disuruh pa Darmo, biar dikasih murah, pakai rendang, sambalnya sedikit saja” Pak Sudarmo memberikan instruksi singkat sembari memberikan uang pecahan lima puluh ribu yang masih kaku.

Hasan lalu berlalu dari pandangan Pak Sudarmo yang mulai menyulut rokoknya.
***
Hasan menyodorkan sebuah kantong plastik hitam berisi dua bungkusan nasi padang, dan beberapa rupiah kembaliannya.

“Ambil satu bungkus untukmu”

“Tapi pak....”

“Makanlah, mahasiswa itu tidak boleh lapar, gimana mau belajar bener...”

Hasan menerimanya dengan hati sungkan, lalu duduk bersama di sana, makan, berbincang akrab, seperti ayah dan anak, sedikit bercanda, terukir senyum dan terlukis tawa di wajah Hasan, di wajah yang merindukan sosok Ayah, sosok ayah yang tidak akan pernah terganti, walaupun dengan sosok mulia seorang Sudarmo.

Hasan larut dalam suasana hangat, seakan lupa dengan isi dompet yang semakin menipis. Entahlah esok hari seperti apa.

0 comments: