Defining Perfection | Tentang Diriku (3)

12:37 AM Ichsan Sofan Nurzani 0 Comments

Hari ini, pukul 12:59 aku tiba kembali di kantor setelah—seperti biasa—makan siang bersama dia.

12:59 mungkin “terlalu cepat” untuk ku tiba di kantor, walaupun jam istirahat sebenarnya berakhir pada pukul 13.00, namun aku kadang bandel untuk kembali sedikit terlambat. Apalagi hari ini, ketika kedua rekan kerjaku sedang menghadiri seminar di luar kota, otomatis kembali ke kantor akan membuatku duduk sendiri tanpa kawan untuk berbincang.

Barusan, aku bertemu dia seperti biasa. Menghabiskan makan siang bersama di tempat kost-nya. Kami selalu melakukan hal itu sejak kami jadian 7 bulan yang lalu. Kadang lauk yang kami makan sangat sederhana, jauh dari predikat mahal, dan bukan makanan yang dibeli dari tempat bergengsi tinggi, tapi kami tidak peduli, selama kami bisa makan bareng, kami sudah sangat bahagia.


Hal itulah yang membuatku kadang terlambat kembali ke kantor, aku tidak bisa bertemu dia sebentar saja, selalu saja ingin berlama-lama dengannya walaupun sebenarnya setiap hari kami bertemu. Begitu juga hari ini, aku masih ingin bersama dia, berbincang, bercanda, tapi dia harus kembali ke kantor lebih cepat untuk kepentingan pekerjaan. Alih-alih mendapatkan waktu lebih, waktu yang biasa kami bagi pun harus kami potong beberapa menit lebih cepat.

Dan tadi pun aku memang tidak banyak tersenyum dan berbicara, kenapa? Berbicara pasti akan membuat tangisku pecah, tangis yang sudah bergelantung di ujung tenggorokan sejak beberapa saat kami tiba di sana. Tangis? Cengeng? Tunggu dulu, tangis bukan indikator kecengengan atau kelemahan, tangis biasanya meleleh diantara emosi yang tidak terbendung. Ketika seseorang mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa, dia menangis. Ketika tersemat rasa bangga dalam dada, dia juga menangis. Ketika amarah memuncak tanpa output untuk meledak, manusia biasanya tahu jika itu akan terkonversi menjadi sebuah tangisan.

Lalu apa yang terjadi pada diriku? Entahlah, mungkin kesal, sedih, atau kecewa.
Beberapa saat setelah kami tiba, dia langsung memberitahuku tentang jadwal seminar yang akan dia peroleh 3 hari berturut-turut mulai lusa. Ya Tuhan, mengapa tidak nanti saja berita ini aku dengar setelah aku menghabiskan makan siangku, aku tahu hal-hal seperti itu selalu membuat mood-ku turun drastis.  
Mengapa?

Dia dan karirnya
Dia bekerja di salah satu perusahaan advertising di kota bandung sebagai Account Executive, aku tidak begitu paham tentang deskripsi pekerjaan yang dia lakukan, yang aku tahu dia bekerja di bidang marketing yang tentu saja format pekerjaannya sama dengan tenaga pemasaran pada umumnya. Menawarkan produk perusahaan, bertemu klien, hours-out, dan hal-hal semacamnya.

Klien yang dia temui sudah pasti memiliki karakter yang berbeda, ada pria, wanita, baik, judes, hidung belang, ramah, bersahaja, serius, banyak bercanda, dan lainnya. Walaupun tak jarang juga beberapa dari mereka bersikap sangat profesional. Keragaman itulah yang kadang membuatku tidak tenang melepas dia pergi keluar, karena bisa saja dia bertemu dengan orang-orang yang karakternya tidak aku sukai; mengganggu, menggoda, sok akrab, dan banyak lagi hal-hal menjijikan yang bisa saja dilakukan oleh orang-orang berduit yang tidak memiliki integritas terhadap profesionalisme. Belum lagi kemungkinan-kemungkinan untuk dia pergi ke luar kota.

Aku tahu dan paham jika sikap aku ini mungkin menodai nilai-nilai profesionalisme itu sendiri, working is working, dia pun seringkali mengingatkanku jika semua ini hanya kepentingan pekerjaan, and it’s all about relation, yang bahkan suatu hari akan kami butuhkan untuk menunjang bisnis yang akan kami geluti, aku paham. Tapi mari kita bicara konteks. Dalam konteks professional, hal itu memang hal yang berjalan wajar dan sebagaimana mestinya, tapi dalam konteks hati dan relationship, hal itu terkadang meresahkan—khususnya untukku.
***

Itulah mengapa mood-ku langsung begitu saja turun mendengar jadwal seminar dia. Aku tidak mau dia pergi, aku tidak mau kehilangan waktu dia, apalagi jadwal yang akan dia hadapi tiga hari berturut-turut itu otomatis membuat kami tidak bertemu selama dua hari penuh. Dua hari? Bukankah itu tidak terlalu lama ya? Untuk aku itu sangat lama. 

Aku kadang merasa pedih, tidak bisa sepenuh hati mendukung pekerjaan dia, aku tahu dia butuh support, tapi aku tidak mau menjadi hipokrit dengan mengkamuflase perasaan aku. Aku bukan jahat, aku hanya ingin dia berada di environment yang aman, di lingkungan yang bisa menunjang sempurnanya hubungan kami, and to be honest, this is not what i’ve been expected, i have a perfect her, a perfect relationship, a perfect timing of unity, a perfect moments, yet something sometimes steals our happiness of having those perfection. :’)

Dilema juga muncul ketika dia menyelesaikan misi pekerjaan dia. Di satu sisi aku ingin menunjukkan supportku dan doaku untuk kesuksesan pekerjaan dia, tugas-tugas yang goal, an accomplished work, bonus dan insentif yang akan tergenggam. Tapi di sisi lain aku takut, i’m afraid that the more money she’ll probably get, the longer she will stay.

Yet i’m still waiting, waiting for the perfect moment, for the perfect us, the perfect happiness that we might get, when tears are just the liquid of happiness. And it just suck while things that get me upset is not the problems occur between we ourselves. We’re fine; the environment, and the external factor keep choking me hard.

I’m not wishing a perfect fairytale, i just want this relationship to become a prosperous relationship, a relationship with only smiles, sobriety, and tears of joy, someday.... :-)

...bersambung...

0 comments: